Senin, 27 Desember 2010

KOPERASI SEBAGAI SOKOGURU EKONOMI

Pembangunan Koperasi Indonesia
Keberadaan koperasi di Indonesia hingga saat ini masih
ditanggapai dengan pola pikir yang sangat beragam. Hal seperti itu
wajar saja. Sebab, sebagai seperangkat sistem kelembagaan yang
menjadi landasan perekonomian kita, koperasi akan selalu
berkembang dinamis mengikuti berbagai perubahan lingkungan.
Dinamika itulah yang mengundang lahirnya beraneka pola pikir
tersebut. Gejala seperti itu justru sangat posisitf bagi proses
pendewasaan koperasi.
Jika kita kembali pada definisi yang ada, koperasi Indonesia
telah diberi devinisi sebagai bentuk lembaga ekonomi yang
berwatak sosial. Dalam lingkup pengertian seperti itu, banyak pihak
yang menafsirkan koperasi Indonesia semata-mata hanya sebagai
suatu lembaga dalam arti yang sempit, yaitu organisasi atau badan
hukum yang menjalankan aktivitas ekonomi dengan tujuan
peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Padahal menurut pasal 33 UUD 1945, koperasi ditetapkan
sebagai bangun usaha yang sesuai dalam tata ekonomi kita
berlandaskan demokrasi ekonomi. Oleh karena itu seyogyanya
koperasi perlu dipahami secara lebih luas yaitu sebagai suatu
kelembagaan yang mengatur tata ekonomi kita berlandaskan jiwa
dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Jiwa dan semangat
kebersamaan serta kekeluargaan itulah yang perlu ditempatkan
sebagai titik sentral dalam memahami pasal 33 UUD 1945 beserta
penjelasannya secara lebih luas dan mendasar.
Dengan pemahaman demikian, jelaslah bahwa dalam
demokrasi ekonomi jiwa dan semangat kebersamaan dan
kekeluargaan juga harus dikembangkan dalam wadah pelaku
ekonomi lain, seperti BUMN dan swasta, sehingga ketiga wadah
pelaku ekonomi tersebut dijamin keberadaannya dan memiliki hak
hidup yang sama di negeri ini.
Selanjutnya timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya upaya
kita menterjemahkan pengertian koperasi ke dalam konsep
sokoguru perekonomian kita? Jawaban sementara dapat
diketengahkan sebagai berikut, “jika kita ingin membangun
pengertian dalam lingkup konsep sokoguru perekonomian nasional
kita, maka intinya adalah bagaimana mengupayakan agar jiwa dan
semangat kebersamaan dan kekeluargaan tersebut secara substantif
barada dan mewarnai kehidupan dari ketiga wadah pelaku
ekonomi.”
Jadi membangun sokoguru perekonomian nasional berarti
membangun badan usaha koperasi yang tangguh, menumbuhkan
badan usaha swasta yang kuat dan mengembangkan BUMN yang
mantap secara simultan dan terpadu dengan bertumpu pada Trilogi
Pembangunan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat banyak. Karena pemahaman dan pemikiran terhadap
koperasi dalam arti yang luas dan mendasar seperti dimaksudkan
63
dalam pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, memang sangat
diperlukan. Apalagi, dalam menghadapi berbagai perubahan dan
tantangan pembangunan kita di masa yang akan datang.
Seperti telah kita sadari bersama bahwa dalam era tinggal
landas nanti, untuk mewujudkan perekonomian yang berlandaskan
Trilogi Pembangunan setidak-tidaknya terdapat tiga tantangan
besar yang perlu diantisipasi oleh ketiga wadah pelaku ekonomi,
yaitu;
1. Mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam situasi proses
globalisasi ekonomi yang makin meluas.
2. Mempercepat pemerataan yang makin mendesak mengingat
36,2 juta rakyat masih berada di bawah garis kemiskinan.
3. Memelihara kesinambungan kegiatan pembangunan yang
stabil dan dinamis dalam rangka mengantisipasi kemungkinan
adanya berbagai kendala yang menghambat upaya kita
menjawab kedua tantangan di atas.
Untuk menjawab dengan tepat tantangan tersebut di atas,
diperlukan komitmen dan tanggungjawab yang besar dari ketiga
wadah pelaku ekonomi tersebut. Kongkritnya adalah peningkatan
dan pematangan integrasi ketiga wadah pelaku ekonomi, yang
dilandaskan atas jiwa dan semangat kekeluargaan dan
kebersamaan. Proses integrasi tersebut adalah proses hubungan
keterkaitan integratif yang telah dan sedang dilaksanakan untuk
mengembangkan ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut sesuai
dengan fungsinya masing-masing. Peningkatan dan pemantapan
proses integrasi tersebut mutlak harus dilaksanakan untuk
menjawab tantangan pembangunan di masa yang akan datang.
Sehubungan dengan masalah mendasar tersebut, adalah
menarik untuk dikaji pemikiran beberapa pakar yang mengatakan
bahwa dalam tata perekonomian kita yang didasarkan pada
Demokrasi Ekonomi, ketiga wadah pelaku ekonomi memang
mempunyai komitmen dan tanggungjawab yang sama terhadap
terwujudnya Trilogi Pembangunan. Namun demikian sesungguhnya
terdapat pembagian kerja bagi masing-masing wadah pelaku
ekonomi tersebut. Pembagian kerja tersebut merupakan
konsekuensi akibat perbedaan ciri-ciri organisasi masing-masing
wadah pelaku ekonomi tersebut. Hal ini terutama berkaitan dengan
tingkat efisiensi masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut
dalam mencapai salah satu unsur dari Trilogi Pembangunan.
Dilihat dari tingkat efisiensi, masing-masing wadah pelaku
ekonomi tersebut mempunyai keunggulan komparatif sendiri-sendiri
dalam mewujudkan perekonomian nasional yang berlandaskan
Trilogi Pembangunan. Melalui pemikiran tersebut di atas, dapat
dirumuskan suatu pola pembagian kerja di antara ketiga wadah
pelaku ekonomi tersebut, bukan dalam bentuk gagasan
pengkaplingan bidang usaha, melainkan dalam pembagian kerja
secara fungsional yang berlandaskan pada Trilogi Pembangunan.
Koperasi dengan sifat-sifat khas berdasarkan prinsip
kelembagaannya, nampak lebih efisien untuk melaksanakan secara
langsung tugas pokoknya di bidang pemerataan. Tentu saja hal ini
64
dilakukan dengan tidak mengabaikan tanggungjawab dan tugasnya
di bidang pertumbuhan dan stabilitas. Pemikiran tentang tugas
pokok koperasi seperti diuraikan oleh para pakar tersebut, memang
dapat merupakan rasionalisasi dari tugas koperasi yang telah secara
tegas tercantum dalam arah pembangunan jangka panjang [GBHN],
yaitu sebagai wadah untuk menumbuhkan dan meningkatkan
kemampuan yang lebih besar bagi golongan ekonomi lemah agar
mereka dapat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan
sekaligus dapat ikut menikmati hasil-hasilnya.
Koperasi merupakan kunci utama dalam upaya mengentaskan
anggota masyarakat kita dari kemiskinan. Dengan tugas funsional
koperasi seperti itu, diharapkan akan lebih efisien apabila fungsinya
diarahkan untuk tugas pokok memobilisasikan sumberdaya dan
potensi pertumbuhan yang ada, tanpa harus mengabaikan fungsinya
dalam mengembangkan tugas stabilitas dan pemerataan. Sedangkan
BUMN, sebagai satu wadah pelaku ekonomi yang dimiliki oleh
pemerintah, mempunyai kelebihan potensi yaitu lebih efisien dalam
tugas pokoknya melaksanakan stabilitas, sekaligus berfungsi
merintis pertumbuhan dan pemerataan.
Apabila kita dapat mengikuti pemikiran para pakar seperti
diuraikan di atas, maka akan lebih memperkuat alasan bahwa untuk
menghadapi tantangan-tantangan di masa mendatang, masingmasing
wadah pelaku ekonomi seharusnya tidak dibiarkan tumbuh
dan berkembang sendiri-sendiri. Ketiga wadah pelaku ekonomi tadi
justru harus berkembang dan saling terkait satu sama lain secara
integratif. Tanpa keterkaitan integratif seperti itu, perekonominan
nasional kita tidak akan mencapai produktivitas dan efisiensi
nasional yang tinggi. Di samping itu kita akan selalu menghadapi
munculnya kesenjangan antara tingkat pertumbuhan dan tingkat
pemerataan yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat
stabilitas nasional.
Hal ini disebabkan swasta dan BUMN, sesuai dengan ciri
organisasi dan tugasnya, memiliki peluang yang lebih besar untuk
tumbuh dan berkembang secara lebih cepat. Sedangkan koperasi,
sesuai dengan ciri-ciri dan tugasnya yang berorintasi pada upaya
peningkatan pendapatan masyarakat golongan ekonomi lemah,
tumbuh dan berkembang lebih lamban dibanding dengan kedua
wadah pelaku ekonomi.
Oleh karena itu, harus diusahakan agar tingkat pertumbuhan
koperasi dapat sejajar dan selaras dengan tingkat pertumbuhan
pihak swasta dan BUMN sehingga tercapai pertumbuhan yang
merata. Untuk itu tidak dapat dihindarkan bahwa tingkat
perkembangan koperasi pada umumnya harus secara aktif dikaitkan
dengan perkembangan yang terjadi pada wadah pelaku ekonomi
swasta dan BUMN. Sebaliknya pihak swasta dan BUMN dalam
pertumbuhannya mempunyai kewajiban untuk membantu koperasi
dengan memberikan peluang dan dorongan melalui proses belajar
yang efektif. Tentu saja bantuan tersebut tanpa harus mengganggu
prestasi dan gerak pertumbuhan swasta dan BUMN itu sendiri.
Dengan demikian koperasi, dalam proses perkembangannya, akan
65
lebih terdorong untuk berkembang lebih cepat dalam melaksanakan
tugas pokoknya sebagai wadah pemerataan dan mampu
mempertahankan perkembangannya, sehingga tidak menjadi beban
bagi swasta dan BUMN.
Kondisi semacam itu merupakan wujud nyata gambaran
pelaksanaan jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan
dalam tata perekonomian nasional kita. Dalam hubungan itu tepat
apa yang dijabarkan ISEI dalam naskah penjabaran Demokrasi
Ekonomi, bahwa wadah pelaku ekonomi yang kuat tidak dihalangi
dalam upayanya memperoleh kemajuan dan perkembangan. Mereka
justru berkewajiban membantu perkembangan wadah pelaku
ekonomi lainnya yang lebih lemah. Sebaliknya pelaku ekonomi yang
lemah perlu dibantu dan diberi dorongan agar dapat lebih maju.
Dengan demikian semua pelaku ekonomi dapat tumbuh dan
berkembang bersama-sama sesuai dengan fungsinya.
Selanjutnya bentuk hubungan keterkaitan integratif tersebut
dalam pelaksanaannya harus tetap dilandaskan dan mengacu pada
prinsip-prinsip ekonomi yang rasional dalam mekanisme pasar yang
sehat. Oleh karena itu keterkaitan integratif harus dilaksanakan
tetap dalam kerangka hubungan yang saling memberi manfaat, baik
manfaat ekonomi maupun manfaat sosial. Manfaat sosial di sini
berarti bahwa secara langsung maupun tidak langsung, jangka
pendek maupun jangka panjang, pasti akan memberikan manfaat
ekonomi.
Secara lebih kongkrit bentuk keterkaitan integratif dapat
berupa tiga bentuk utama, yaitu: persaingan yang sehat,
keterkaitan mitra-usaha dan keterkaitan kepemilikan. Dalam
membahas keterkaitan integratif melalui persaingan yang sehat,
bentuk keterkaitan tersebut dilaksanakan berdasarkan ketentuan
adanya kesepakatan untuk bersaing dengan masing-masing
mendapatkan keuntungan yang wajar tanpa harus saling merugikan.
Hal itu dapat diwujudkan, baik melalui peningkatan efisiensi
masing-masing pihak dalam mengelola sumber daya yang dimiliki
secara optimal, maupun melalui pemanfaatan peranan salah satu
wadah pelaku ekonomi sebagai pengimbang bagi pelaku ekonomi
lain dalam pelaksanaan kegiatan usaha pada bidang tertentu.
Semua langkah tersebut diorientasikan pada upaya untuk selalu
mengefisienkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia dengan
tetap menerima kondisi keterkaitan satu sama lain dalam sistem
perekonomian nasional.
Salah satu contoh keterkaitan integratif seperti diuraikan di
atas dalam bentuk yang mungkin masih terus disempurnakan,
diantaranya adalah tata niaga pangan, khususnya padi dan palawija.
Dalam tata niaga pangan tersebut, telah dapat diwujudkan suatu
bentuk keterkaitan antara BUMN, koperasi dan swasta, baik sebagai
produsen maupun konsumen yang masing-masing dapat menjalakan
tugas pokoknya dan mendapatkan keuntungan serta manfaat yang
wajar sehingga mereka dapat lebih tumbuh bersama secara merata
dan saling tergantung satu sama lain.
66
Selanjutnya bentuk keterkaitan integratif lainnya dapat
bersifat komplementer atau substitusi pada suatu bidang usaha
tertentu. Keterkaitan komplementer diartikan bahwa setiap wadah
pelaku ekonomi yang masih lemah di bidang tertentu, dapat dibantu
dan diperkuat oleh wadah pelaku ekonomi lainnya yang mampu di
bidang itu, sehingga secara bertahap yang lemah tadi menjadi kuat.
Dalam hubungan itu masing-masing wadah pelaku ekonomi yang
terlibat dalam hubungan tersebut haruslah berada dalam posisi dan
kedudukan yang setaraf. Dengan demikian nilai tambah yang
dihasilkan dapat dibagi secara proporsional atau seimbang, sesuai
dengan prestasi masing-masing wadah pelaku ekonomi. Bentuk
keterkaitan Bapak–Anaka angkat, Pola PIR, adalah beberapa contoh
bentuk keterkaitan komplementer seperti diuraikan di atas.
Dalam kerangka keterkaitan substitusi tersebut apabila salah
satu wadah pelaku ekonomi, karena satu dan lain hal, tidak mampu
melakukan misi dan peranannya maka untuk sementara peranan
tersebut dapat digantikan oleh wadah pelaku ekonomi lainnya yang
lebih mampu. Dalam kaitan itu, bentuk substitusi ini dapat
dilakukan baik oleh BUMN maupun swasta besar untuk membantu
wadah pelaku ekonomi lain yang masih lemah, baik yang tergabung
dalam bentuk swasta maupun koperasi.
Selanjutnya pada saat tertentu, jika kondisinya telah
memungkinkan, BUMN dan swasta dapat secara bertahap
menyerahkan kembali kepemilikan dan pengelolaan usaha itu
kepada salah satu wadah pelaku ekonomi yang lemah tadi sesuai
dengan bidang usaha yang dikembangkannya. Apabila kegiatan
usaha tersebut menyangkut pemerataan, pemilikan dan pengelolaan
usaha tersebut diserahkan kepada koperasi. Sedangkan kegiatan
usaha yang menyangkut bidang pertumbuhan ekonomi dapat
diserahkan pada sektor swasta.
Sebagai contoh yang aktual, bentuk keterkaitan substitusi
adalah Tata Niaga Cengkeh. Karena koperasi belum mampu
melaksanakannya sendiri, tugas tersebut dilaksanakan oleh swasta
yaitu BPPC. Selanjutnya secara bertahap sesuai dengan kemampuan
koperasi, tugas tersebut diserahkan secara penuh kepada koperasi.
Ketiga bentuk keterkaitan tersebut di atas, suatu saat akan
sampai pada posisi yang lebih terintegrasi secara total, dalam
bentuk keterkaitan kepemilikan. Melalui bentuk keterkaitan
tersebut, secara bertahap koperasi dapat memilki saham
perusahaan, baik koperasi itu sendiri memilki keterkaitan usaha
secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan
dimaksud.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa integrasi ketiga
wadah pelaku ekonomi tersebut yang telah mulai dilaksanakan pada
PJPT–I ini harus terus ditekankan dan dimantapkan sebagai wadah
dasar guna menggerakkan upaya mewujudkan Trilogi Pembangunan:
pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas yang secara selaras,
terpadu, saling memperkuat serta mendukung sesuai dengan
keunggulan komparatif masing-masing wadah pelaku ekonomi
tersebut di masa mendatang.
67
Dari keseluruhan pola pikir seperti diuraikan tersebut di atas,
maka jelaslah bahwa dalam tatanan perekonomian nasional,
koperasi Indonesia pada dasarnya mempunyai fungsi yang sarat
dengan misi pembangunan, terutama terwujudnya pemerataan.
Koperasi Indonesia merupakan bagian integral dari sistem
pembangunan nasional kita. Peranan itu memang susuai dengan
ketetapan mengenai fungsi koperasi sebagaimana tercantum dalam
Undang-undang nomor 12 tahun 1967 tentang pokok-pokok
Perkoperasian yang menegaskan bahwa koperasi sebagai alat
perjuangan ekonomi guna mempertinggi kesejahteraan rakyat
banyak.
Dari kerangka pendekatan dan pemikiran yang bersifat
integral di atas, maka jelaslah bahwa koperasi Indonesia adalah
suatu badan usaha yang seharusnya dapat bergerak di bidang usaha
apa saja sepanjang orientasinya adalah untuk meningkatkan usaha
golongan ekonomi lemah. Koperasi ini pada gilirannya akan
memberikan dampak berupa peningkatan kesejahteraan mereka.
Orientasi usaha seperti itulah yang merupakan salah satu ciri sosial
dari koperasi yang membedakannya dengan badan usaha lainnya.
Dalam hubungan ini perlu juga adanya kejelasan terhadap pendapat
bahwa karena koperasi harus melayani yang lemah dan kecil, maka
usaha koperasi tidak dapat menjadi besar. Pendapat demikian ini
adalah keliru, karena justru untuk memperoleh kelayakan usahanya,
setiap koperasi harus didorong dan dikembangkan menjadi besar
dengan menghimpun kekuatan ekonomi dari mereka yang lemah dan
kecil-kecil. Memang perlu ditegaskan bahwa besarnya usaha
koperasi seperti di atas bukanlah tujuan, tetapi hanya merupakan
dampak dari suatu upaya untuk dapat mengembangkan dirinya
secara efektif dan efisien.
Tolak ukur perkembangan koperasi Indonesia bukan saja
besar atau kecilnya volume usaha atau sumbangannya dalam
pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kurang relevan kalau
mengukur keberhasilan koperasi dengan ukuran keberhasilan BUMN
atau swasta. Yang menjadi ukuran koperasi Indonesia adalah sejauh
mana usaha koperasi itu terkait dengan usaha anggotanya terutama
golongan ekonomi lemah, dan pada gilirannya dapat menghasilkan
manfaat sebesar-besarnya dalam proses peningkatan kesejahteraan
mereka. Dengan perkataan lain yang diukur adalah sumbangannya
secara langsung dalam proses melaksanakan fungsi pemerataan.
Dengan cara pandang demikian koperasi yang memiliki usaha kecil,
namun terkait dengan kegiatan usaha para anggotanya akan
memiliki bobot kwalitas yang lebih tinggi dibanding dengan koperasi
yang memiliki usaha besar tetapi tidak terkait dengan kegiatan
usaha atau kepentingan para enggotanya.
Dalam hubungan itu tepatlah apa yang dikatakan mantan
Presiden Soeharto bahwa, “masih ada yang berpendapat bahwa
koperasi tertinggal jauh dibandingkan BUMN dan perusahaan
swasta, karena tidak ada koperasi yang memiliki bangunan megah
atau usaha berskala besar. Padahal tujuan koperasi bukanlah untuk
mendirikan usaha besar serta gedung mewah. Tetapi yang jelas
68
tugas utama koperasi adalah tetap berusaha meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran anggotanya.”
Selanjutnya dalam rangka mengukur keberhasilan
pembangunan koperasi juga terdapat pandangan yang kurang tepat
apabila dilakukan dengan membandingkan kelambanan proses
perkembangan koperasi di Indonesia dengan kecepatan kemajuan
koperasi di negara-negara lain, terutama negara-negara maju. Hal
ini disebabkan karena koperasi yang sudah pesat kemajuannya di
negara lain pada umumnya telah berkembang rata-rata lebih dari 50
tahun. Sedangkan di Indonesia perkembangan koperasi mulai
dibangun secara konseptual dan intensif sejak Pelita II. Di samping
itu di negara yang koperasinya sudah maju, pada awal
perkembangannya, koperasi tidaklah diberi peran formal untuk
mengatasi kemiskinan. Kalau toh ada golongan ekonomi lemah pada
saat itu maka jelas golongan tersebut kondisinya jauh lebih baik
dibanding dengan kondisi golongan ekonomi lemah di Indonesia.
Dengan posisi seperti itu adalah hal wajar apabila koperasi
Indonesia tumbuh lebih lamban, karena membangun koperasi
Indonesia tidak mudah dan sederhana mengingat umumnya koperasi
dibentuk oleh mereka yang bermodal kecil, berketerampilan
sederhana dan tidak memiliki pengetahuan manajemen yang
memadai.
Setelah diketahui dengan jelas fungsi koperasi di Indonesia,
maka permasalahan selanjutnya adalah bagaimana strategi
pembangunannya. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa
masalah utama dalam pengembangan koperasi Indonesia adalah
belum tersedianya jaminan pasar, kelemahan manajemen dan
keterbatasan modal. Masalah seperti itu perlu segera diatasi dengan
strategi pembinaan yang tepat dan efektif, serta tetap mengacu
pada strategi pembangunan nasional kita seperti yang telah
diuraikan di atas, yaitu strategi keterkaitan integratif.
Strategi itu telah mulai dilaksanakan sejak Pelita II yang lalu,
dengan upaya mengembangkan koperasi Indonesia di pedesaan yang
kita kenal dengan Koperasi Unit Desa [KUD]. Strategi itu telah
berhasil tidak saja mengembangkan KUD-KUD yang sebagian besar
telah mandiri, namun juga sekaligus mampu mengembangkan mitra
usahanya baik swasta maupun BUMN. Namun demikian harus diakui
bahwa keberhasilan tersebut belum lagi optimal. Koperasi Indonesia
belum lagi dapat berfungsi secara efektif terutama dalam rangka
mengangkat rakyat kita yang masih hidup di bawah garis
kemiskinan. Itu merupakan tantangan besar bagi koperasi Indonesia.
Untuk itu strategi keterkaitan integratif tersebut harus lebih
digalakkan dan dimantapkan dalam pelaksanaannya di masa
mendatang.
Selanjutnya suatu aspek lain yang perlu kita bahas adalah
agar proses hasil keterkaitan integratif itu dapat optimal dan
efisien, seyogyanya ketiga wadah pelaku ekonomi tidak berupaya
untuk mengembangkan dirinya menjadi organisasi yang eksklusif.
Dalam hubungan ini koperasi Indonesia juga harus lebih terbuka
karena sikap eksklusifnya hanya akan semakin memperlemah
69
posisinya. Melalui keterbukaan tersebut, semua aset nasional akan
dapat dimanfaatkan untuk menjadi faktor pendorong dalam
mempercepat perkembangan koperasi Indonesia, tanpa harus
kehilangan asas sendi-sendi dasarnya.
Untuk itu, di samping terus mengembangkan kekuatan
jaringan koperasi sendiri, seharusnya yang lebih penting adalah
menyempurnakan kebijaksanaan dan strategi pembangunan koperasi
Indonesia sebagai suatu sistem yang lebih terpadu. Melalui sistem
tersebut, di samping akan dapat dimanfaatkan instansi pembina
koperasi terkait juga akan dapat dimanfaatkan oleh pihak lain yang
berkepentingan, terutama kedua wadah pelaku ekonomi lainnya
untuk membantu bekerjasama dalam membangun koperasi berdasar
kerangka hubungan keterkaitan integratif seperti diuraikan di atas.
Sebagai contoh aktual, misalanya pengembangan aspek
permodalan koperasi. Untuk mengatasi keterbatasan permodalan
yang dimiliki koperasi, di samping mengembangkan lembaga
keuangan [bank maupun lembaga keuangan bukan bank] milik
koperasi sendiri, koperasi Indonesia harus dapat mengembangkan
suatu sistem permodalan koperasi Indonesia yang dapat
dimanfaatkan oleh lembaga keuangan non-koperasi untuk
membantu mengatasi kebutuhan permodalan koperasi tersebut.
Ketentuan dan kebijaksanaan Pakjan 29/1990 misalanya adalah
salah satu bentuk kongkrit dari sistem permodalan koperasi. Melalui
ketentuan itu semua lembaga keuangan bank milik pemerintah,
swasta maupun koperasi dapat bersama-sama berkiprah untuk
mengatasi dan membangun permodalan koperasi yang kokoh dan
kuat.
Selanjutanya dalam rangka menyempurnakan kebijaksanaan
strategis pembangunan koperasi Indonesia tersebut di atas,
ketentuan-ketentuan yang ada dan tidak relevan perlu ditinjau
kembali dengan pengertian untuk mempercepat peningkatan
kwalitasa internal organisasi koperasi agar benar-benar dapat
menjadi lembaga usaha yang efisien dan mandiri. Melalui langkah
itu, diharapkan koperasi Indonesia akan mampu memanfaatkan
peluang yang dihadapi dalam kegiatan usahanya sendiri, dan
selanjutnya mampu mengembangkan hubungan keterkaitan
integratif dengan dua wadah pelaku ekonomi lainnya.
Sejarah mencatat bahwa citra koperasi pernah merosot
hingga titik terendah pada masa lalu. Hal itu disebabkan karena
terjadinya praktek-praktek berkoperasi yang sudah jauh
menyimpang dari prinsip dan sendi dasar koperasi sendiri.
Akibatnya, saat itu rakyat telah kehilangan kepercayaan terhadap
koperasi. Sekiranya dibiarkan, akan diperlukan waktu yang relative
sangat lama untuk menumbuhkan kembali kepercayaan rakyat itu.
Oleh sebab itu pemerintah berkewajiban untuk membantu upaya
membangun kembali citra koperasi. Yang terpenting untuk
diketahui adalah bahwa keterlibatan pemerintah itu bukanlah
keterlibatan permanen, tetapi hanya bersifat sementara. Berdasar
hal itu kebijakan pemerintah untuk membina koperasi Indonesia,
khususnya koperasi pedesaan, adalah dengan menerapkan strategi
70
tiga tahap pembangunan: tahap ofisialisasi, tahap deofisialisasi dan
tahap otonomi.
Pada tahap ofisialisasi, pemerintah secara sadar mengambil
peran besar untuk mendorong dan mengembangkan prakarsa dalam
proses pembentukan koperasi. Lalu, membimbing pertumbuhannya
serta menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan. Sasarannya
adalah agar koperasi dapat hadir dan memberikan manfaat dalam
pembinaan perekonomian rakyat, yang pada gilirannya diharapkan
akan menumbuhkan kembali kepercayaan rakyat sehingga
mendorong motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan
koperasi tersebut.
Tahap deofisialisasi ditandai dengan semakin berkurangnya
peran pemerintah. Diharapkan pada saat bersamaan partisipasi
rakyat dalam koperasi telah mampu menumbuhkan kekuatan intern
organisasi koperasi dan mereka secara bersama telah mulai mampu
mengambil keputusan secara lebih mandiri.
Tahap ketiga adalah otonomi. Tahap ini terlaksana apabila peran
pemerintah sudah bersifat proporsional. Artinya, koperasi sudah
mampu mencapai tahap kedudukan otonomi, berswadaya atau
mandiri.
Tahapan tersebut di atas telah dilaksanakan secara konsisten
sejak Pelita II, di mana pemerintah pertama-tama memprakarsai
untuk menyusun konsep kelembagaan koperasi pedesaan. Kemudian
melaksanakannya melalui pilot project yang kita kenal dengan
proyek BUUD. Proyek tersebut berhasil dan kelembagaan BUUD
disempurnakan menjadi KUD melalui Inpres no. 4/1973. Di dalam
Inpres tersebut di samping penegasan KUD sebagai koperasi
pertanian serta usaha, juga diletakkan berbagai kebijakan dan
strategi pembangunannya. Inpres tersebut kemudian disempurnakan
kembali melalui Inpres no. 2/1978 dan yang terakhir adalah Inpres
no. 4/1984 di mana fungsi dan peran KUD diperluas sebagai koperasi
pedesaan serba usaha yang pembangunannya dikaitkan sebagai
bagian integral dari pembangunan ekonomi pedesaan.
Awal Pelita V hingga Pelita VI merupakan masa transisi tahap
terakhir, yaitu tahap otonomi. Langkah strategis yang telah
dilakukan pada awal Pelita V adalah dengan mengembangkan
program KUD mandiri di mana pada awal Pelita V telah terwujud
2.929 KUD mandiri. Pada akhir Pelita V lebih dari 4000 KUD yang
tersebar di setiap kecamatan di seluruh Indonesia merupakan KUD
yang minimal telah mencapai posisi awal kemandiriannya.
Keberadaan KUD mandiri tersebut akan semakin memperkecil
keterlibatan langsung pemerintah dalam upaya mengembangkan
koperasi. Pada gilirannya, yaitu dalam Pelita VI seluruh KUD mandiri
tersebut diharapkan telah mampu mencapai posisi yang sepenuhnya
mandiri. Sedangkan KUD yang aktif lainnya telah memasuki awal
kemandiriannya.
Hasil-hasil positif dari kebijakan pembangunan koperasi
tersebut di atas kalau kita nilai secara jujur dan obyektif adalah
merupakan hasil upaya keterlibatan pemerintah yang sangat positif.
Barangkali suatu pemikiran yang kurang tepat bahwa peranan
71
pemerintah selama ini dalam pembangunan koperasi menjadi
“counter productive” dan menghasilkan KUD-KUD milik pejabat
pemerintah. Yang sebenarnya terjadi di lapangan justru sebaliknya,
bantuan pemerintah dalam bentuk pemberian bimbingan, fasilitas
dan perlindungan kepada KUD khususnya ternyata telah mampu
mendorong prakarsa masyarakat perdesaan untuk bangkit dan
berpartisipasi dalam membangun koperasinya sendiri, sehingga KUD
mulai tumbuh sebagai gerakan masyarakat pedesaan yang mandiri.
Proses pembinaan yang sama sesungguhnya juga telah
dilakukan pemerintah dalam membangun BUMN-BUMN dan swasta
sejak Orde-Baru, di mana pada saat ini banyak BUMN dan swasta
yang telah mampu menjadi perusahaan-perusahaan besar yang
mandiri dan tangguh setelah melewati masa-masa sulit sebelumnya.
BUMN dan Swasta yang telah mapan merupakan bukti ekonomi yang
pada tahap selanjutnya dikuatkan oleh sehatnya Koperasi Mandiri.
Koperasi menjadi "alat yang menyejarah" bagi tumbuh dan
berkembangnya ekonomi rakyat. Koperasi menjadi wadah ekonomi
yang politis agar cita-cita rakyat banyak dapat terpenuhi. Karena
itu, koperasi harus dipelajari dari sejarahnya yang panjang. Sejarah
pergerakan bangsa dalam upaya kemartabatan bangsa.
Politik Ekonomi Koperasi [Belajar dari Hatta]
Secara umum, belajar sejarah pondasi Koperasi adalah
belajar dari Mohammad Hatta. Tetapi, pada Bung Hatta,
magnitudenya dalam sejarah dan pembangunan nasional bangsa kita
tidaklah bisa diredusir hanya sebagai pemikir ekonomi Bapak
Koperasi Indonesia saja. Karena, sebagaimana yang kita ketahui
bersama, Hatta adalah salah satu Bapak bangsa dan sekaligus
berperan sebagai intelektual dalam pengertian yang sebenarnya.
Hal ini, perlu kita camkan terlebih dahulu untuk menghindari
distorsi dan kesalahpahaman dalam menempatkan posisi Bung Hatta
dalam sejarah nasional.
Magnitude Bung Hatta dalam realitasnya jauh lebih besar dari
pada sekadar seorang ekonom dan Bapak Koperasi. Tidaklah
mengherankan, karenanya jika George Kahin, pionir pengamat
politik Indonesia ketika membuat Kata Pengantar untuk buku
terjemahan karangan Bung Hatta, "The Cooperative Movement in
Indonesia" yang terbit pada 1957 pertama-tama lebih melihat Hatta
bersama dengan Soekarno sebagai pemimpin bangsa, dan bukan
sebagai ekonom dan Bapak Koperasi indonesia. "Hatta," ujar George
Kahin, dikenal luas sebagai salah satu pemimpin Indonesia modern.
Bersama Soekarno, dia telah memainkan peran yang berpengaruh
sebagai pendiri gerakan kebangsaan Indonesia sebelum Perang
Dunia, sebagai seorang pemimpin revolusi Indonesia dan sebagai
pejabat pemerintah Indonesia di dalam massa pasca-revolusi.3
3Lihat George McT. Kahin, "Preface" untuk buku mohammad Hatta, The
Cooperative movement in Indonesia, (Ithaca, New York Cornel University Press, 1957),
hal. v
72
Kenyataan ini perlu disadari untuk memahami tempat Bung
Hatta secara lebih tepat dalam rentang sejarah. Dalam perspektif
ini, apa yang ingin diungkapkan adalah bahwa seluruh potensi dan
daya juang, daya intelektual dan daya imajinasi Bung Hatta
sepenuhnya dibaktikan untuk pembangunan bangsa Indonesia dalam
arti yang seluas-luasnya. Dalam arti kata lain, sosok Bung Hatta tak
lagi bisa dipisahkan dengan pembentukan negara Indonesia modern,
seperti juga diucapkan kembali oleh George Kahin, bahwa "Hatta is
so much a part of modern Indonesia's history."4
George Kahin memang tepat menggambarkan magnitude
Bung Hatta sebagai negarawan dalam konstalasi kenegaraan
Indonesia modern. Sehingga ketika Bung Hatta mengundurkan diri
dari jabatan Wakil Presiden pada 1956 dan implikasi krisis
disintegrasi politik yang diakibatkannya, ia memberikan komentar:
"there is no doubt that Indonesia needs his talent and leadership
for her economic development as much as she needs them for her
political reintegration" (tidaklah diragukan bahwa Indonesia
memerlukan bakat-bakat dan kepemimpinan Bung Hatta untuk
pembangunan ekonomi maupun kemampuan kenegaraannya
mempersatukan kembali politik Indonesia).5
Penilaian pionir pengamat politik Indonesia di atas sekali
lagi, menarik untuk dikemukakan. Pertama, karena ketepatannya
dalam menggambarkan magnitude Bung Hatta bagi bangsa kita.
Kedua, karena penilaian itu tidaklah berdiri sendiri, tetapi juga
merupakan pandangan umum para pengamat dan kalangan Barat
yang mengenal secara dekat dengan jalannya perjuangan bangsa
dan kehidupan Bung Hatta itu sendiri. Demikianlah misalnya,
pandangan George Kahin di atas sejalan dengan pandangan Ketua
Eerste Kamer Belanda Mr. Jonkman pada 1957, seperti yang
diceritakan kembali oleh Mr. Wilopo, salah satu Perdana Menteri
Indonesia.6
Dengan melihat dan menghayati magnitude Bung Hatta dalam
perspektif ini maka sedikit banyak kita bisa mencandra posisi tokoh
ini dalam gelombang dan arus perjuangan bangsa sepanjang masa
secara lebih proporsional. Dalam konteks ini kita harus melihat
bahwa obsesi terbesar serta pengabdian total Bung Hatta sematamata
tertuju kepada kemerdekaan dan kemajuan bangsanya, bukan
hanya tertuju pada salah satu bidang pengabdian saja. Maka jauh
dari bidang akademiknya (yaitu ilmu ekonomi), terdorong oleh
perasaan dan semangat kebangsaan, Bung Hatta secara langsung
terjun ke dalam dunia politik sejak mudanya yang bahkan
4George Kahin, Ibid,. hal. x
5Ibid., hal. x
6Pada 1957, Wilopo bertemu dengan jonkman di Belanda. Dalam kesempatan itu
Jonkman menyampaikan pendapatnya bahwa Indonesia sangat membutuhkan pemimpin
sekaliber Bung Hatta "yang selalu mendasarkan pendiriannya atau rasio, moral dan
ekonomi." Ucapan itu diungkapkan setelah mendengar pengunduran diri Bung Hatta dari
jabatan Wakil Presiden. Lihat Wilopo. "Akal, moral dan Ekonomi," dalam Bung Hatta,
Mengabdi pada Tjita-tjita Perdjoangan Bangsa, Beberapa Lukisan Pribadi dan Perjuangan
pada Peringatan Ulang Tahunnja ke-70, (Djakarta: Panitia Ulang Tahun Bung Hatta ke-70.
1972), hal. 508
73
mengorbankan dirinya sendiri ditangkap dan diadili di negeri
Belanda. Ketika kembali ke Indonesia, ia dibuang ke Tanah Merah
dan Banda Neira.7
Keterlibatan Bung Hatta dalam politik bukanlah karena
keterpukauannya terhadap dinamika dunia ini, melainkan karena
bung Hatta melihat bahwa politik merupakan salah satu jalan untuk
mencapai obsesi besarnya: Indonesia merdeka dan pembangunan
bangsa. Dalam konteks ini, berpolitik untuk mencapai kemerdekaan
dan pembangunan bangsa bisa jadi merupakan kata-kata kunci dan
merupakan muara pemaknaan dari seluruh aktivitas Bung Hatta
yang pengungkapannya tak tergelincir hanya pada satu segi atau
satu bidang saja.
Maka, meskipun Bung Hatta secara akademis
berlatarbelakang ekonomi, ia menjadi nasionalis Indonesia sebelum
perang dan bergerak dalam bidang ekonomi sebagai akibat tekanantekanan
politik Pemerintah Kolonial di akhir dekade 20-an dan awal
dekade 30-an. Dengan tajam Bung Hatta mengkritik para ekonom
yang tidak berpolitik kebangsaan sebagai impotensi politik. Mereka
disebut Bung Hatta, "sebagai usaha menggantikan perjuangan aktif
dengan garis perjuangan yang paling lemah pertahanannya."8 Di sini,
kita melihat benang merah cita-cita perjuangan Bung Hatta yang
harus digerakkan dengan totalitas usaha dan dia sendiri, sebagai
seorang ekonom tidak terjebak untuk hanya menekankan segi
ekonomi dalam pergerakkan kebangsaan itu.
Bung Hatta, dalam konteks itu berpandangan bahwa
perjuangan politik kebangsaan dalam bentuk aktivitas ekonomi
belum dianggap relevan, karena dasar-dasar politik untuk
melakukannya masih belum kuat. Sifat mengalah kaum nasionalis
dalam gerakkan politik kebangsaan sebagai akibat penindasan keras
dan radikal Pemerintah Kolonial akan menghapuskan kesempatan
bangkitnya bangsa secara politik. Sambil menunjuk contoh pantang
menyerah kaum nasionalis India melawan Pemerintah Kolonial
Inggris yang membangkitkan gerakkan politik massa yang lebih
militan, yang menyebabkan kaum kolonial mengalah.9 Bung Hatta
ingin mengatakan bahwa tindakan penindasan politik kolonial harus
dilawan dengan perlawanan politik kebangsaan (Indonesia). Bukan
dengan "menyembunyikan diri" pada kegiatan-kegiatan ekonomi.
Dengan memberikan gambaran yang sedikit lebih luas ini,
ingin ditegaskan bahwa keberadaan Bung Hatta diperuntukan kita
semua, secara "lintas sektoral" dan untuk seluruh segi kehidupan
7Sebuah lukisan yang baik tentang riwayat hidup dan perjuangannya lihat Deliar
Noer, Mohammad Hatta, Biografi Poltik, (Jakarta: LP3ES, 1990)
8John Ingleson, Jalan ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia tahun
1927-1934, (Jakarta: LP3ES, 1983), hal. 150
9Mengomentari sikap mengalah kaum nasionalis Indonesia. Hatta menunjukan
kasus gerakan kaum nasionalis India yang pantang menyerah dari tekanan politik. "Di India
terjadi sebaliknya. Tatkala Gandhi menyerukan kepada rakyat bergerak ke pantai untuk
membuat garam sebagai aksi menentang suatu peraturan Inggris, 56 ribu rakyat ditangkap
dan dimasukkan ke dalam penjara. Tapi gerakan Kolonial terpaksa mencabut peraturan
yang menjadi penyebab oposisi yang hebat itu." Lihat Mohammad Hatta, Memoir, (Jakarta:
Tintamas, 1979), hal. 243-244
74
kebangsaan. Jadi bukan hanya pada segi atau bidang tertentu saja.
Sebagai seorang negarawan yang turut membidani lahirnya
Indonesia merdeka, Bung Hatta akan mengerahkan seluruh daya dan
potensi yang ada dalam dirinya untuk kepentingan kemerdekaan
dan pembangunan bangsa secara total. Sebagai seorang akademika,
misalnya, ia mengerahkan kekuatan intelektualnya untuk
kepentingan bangsa.10 Sebagai seorang pemimpin nasionalis dan
politik, ia mengerahkan kekuatan imajinasi politiknya untuk tujuan
yang sama.
Pada perspektif totalitas inilah kita harus memahami konteks
pemikiran dan gerakan Bung Hatta dalam bidang ekonomi dan
koperasi. Sekali lagi ingin dikatakan bahwa, gagasan dan gerakan
Bung Hatta dalam bidang ekonomi dan koperasi bukanlah suatu
tindakan atau aktivitas yang berdiri sendiri, melainkan erat terkait
pada obsesi besarnya tentang Indonesia merdeka dan pembangunan
bangsa secara menyeluruh dan dalam bahasa sekarang
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam arti kata lain,
gagasan-gagasan serta keprihatinan intelektualnya atas kondisi
ekonomi masyarakat Indonesia haruslah selalu dikaitkan secara
integral dengan persoalan bangsa di mana Bung Hatta ikut
membidani kelahirannya.
Harus disadari, bahwa ketepatan penafsiran ini mungkin bisa
menjadi problematik, terutama jika pandangan ini terbaca di
kalangan kaum ekonomi Indonesia dengan visi yang lebih teknikal.
Namun marilah kita mendekati permasalahan ini dengan meninjau
gagasan-gagasan Bung Hatta tentang ekonomi dan koperasi,
sebagaimana bisa kita lihat dan dapati dari berbagai literatur yang
tersebar di dalam masyarakat.
Salah satu tulisan kunci Bung Hatta tentang ekonomi dan
koperasi justru dibahas dalam pidato yang mengungkapkan
kesadaran historis dan politiknya, yaitu "Colonial Society and The
Ideals of Social Democracy." Tulisan yang merupakan pidato ketika
Bung Hatta mendapatkan Doktor Kehormatan dari Universitas Gajah
Mada pada 27 November 1956, 4 hari sebelum ia mengundurkan diri
dari jabatan Wakil Presiden ini mencoba, langsung atau tidak
langsung, meletakkan persoalan ekonomi dalam konteks yang lebih
luas.
Dalam pidato tersebut, Bung Hatta menguraikan
keterbelakangan bangsa Indonesia sebagai akibat dari bekerjanya
sistem ekonomi dan politik yang bekerja dalam lingkup dunia
kapitalisme. Eksploitasi kekuatan kapitalisme dunia itu telah
menjadikan Indonesia sebagai a huge estate (perkebunan besar) dan
menjadikan Indonesia hanya berfungsi sebagai wilayah pengekspor
produk-produk pertanian. Sebagai akibatnya, aktivitas produksi di
Indonesia tidaklah ditujukan untuk kebutuhan konsumsi konsumsi
10Untuk perbincangan soal ini lihat Alfian, "Bung Hatta sebagai Cendikiawan,"
dalam Bung Hatta Mengabdi pada Tjita-tjita ... hal. 75-85
75
domestik, melainkan complately gaered to the world market
(disesuaikan sepenuhnya untuk pasar dunia).11
Meskipun kenyataan di atas merupakan fakta ekonomi,
namun Bung Hatta tidaklah menganggapnya sebagai persoalan
teknis ilmu ekonomi, karena bekerjanya sistem tersebut disangga
oleh sebuah struktur sosial dan politik yang khusus. Di sini Bung
Hatta melukiskan bahwa struktur politik yang menyangga
bekerjanya sistem itu adalah pemerintahan Hindia Belanda yang
bekerja sebagai nagara polisi (police state), "sejenis organisasi
negara yang disesuaikan sesuai dengan tujuan kekuasaan
penjajahan untuk mendapatkan kekuasaan penuh dalam bidangbidang
politik, ekonomi dan sosial."12
Kenyataan inilah, menurut Bung Hatta, yang mematrikan
hasrat merdeka di kalangan rakyat Indonesia. Hasrat kemerdekaan
ini berarti penciptaan sebuah negara bangsa, yang tunggal dan
padu, bebas dari dominasi asing dalam bentuk apapun, baik politik
maupun ideologi.13 Semangat inilah yang terpatrikan dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan semangat
universal kemanusiaan karena sangat sesuai dengan The Universal
Declaration of Human Rights yang lahir tiga tahun kemudian (10
Desember 1948) dalam kancah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).14
Dengan semangat kebangsaan total dan didasarkan pada
kesadaran universal inilah Bung Hatta mengajukan pernyataan
fundamental tentang sistem politik, di atas mana sistem kenegaraan
Indonesia Merdeka harus berlaku. Di sini Bung Hatta memilih sistem
demokrasi. Tapi harus cepat kita katakan bahwa sistem demokrasi
itu bukanlah yang berdasarkan Barat. Gagasan-gagasan "Liberty,
Equality and Fraternity" yang ditelorkan oleh Revolusi Perancis yang
kemudian mendasari demokrasi Barat, bukanlah merupakan pilihan
Bung Hatta. Karena demokrasi semacam ini hanya menyampingkan
kepentingan kemanusiaan dan keadilan sosial (humanity and social
justice). Dan yang lebih penting lagi, sistem demokrasi itu hanya
akan melahirkan demokrasi politik serta tidak menyertakan
economic democracy.15
Ucapan Bung Hatta tentang economic democracy di atas jelas
merupakan konsep kunci dari keseluruhan pemikiran Bung Hatta
tentang ekonomi. Latar belakang kesadaran historisnya yang
melihat implikasi buruk yang ditimbulkan oleh bekerjanya sistem
kapitalisme dunia yang menguras habis kekeyaan alam bangsa kita
telah mendorong Bung Hatta untuk melihatnya sebagai persoalan
politik yang lebih besar. Dengan perspektif ini memungkinkannya
melahirkan pernyataan fundamental tentang sistem politik negara
Indonesia Merdeka yang pada ujungnya menimbulkan keharusan bagi
11Lihat Mohammad Hatta, "Colonial Society and The ideals of Social Democracy,"
dalam Herbert Feith dan Lance Castles (Ed.). Indonesia Political Thingking, 1945-1965,
(Ithaca and London: Cornel University Press, 1970), hal. 32-33
12Hatta, Ibid., hal. 33
13Hatta, Ibid., hal. 34
14Hatta, Ibid., hal. 35
15Hatta, Ibid., hal. 36
76
bangsa ini untuk menciptakan sistem ekonomi yang demokratis
sebagai pengejawantahan substansial dari kemerdekaan bangsa
yang diperjuangkannya.
Maka, dalam perspektif inilah Bung Hatta berbicara dan
mengungkapkan gagasan-gagasannya tentang pembangunan ekonomi
dan koperasi. Bagi Bung Hatta pembangunan ekonomi bukanlah
sekadar bertujuan untuk memakmurkan rakyat. Karena dengan
tujuan yang "sempit" itu, masyarakat Indonesia bisa dan akan
terjebak dalam kerangka berpikir kapitalistik di mana mekanisme
kerjanya harus mengorbankan kepentingan kemanusiaan dan
keadilan sosial. Sebaliknya, jika kita menafsirkan pemikiran Bung
Hatta secara lebih luas, kemakmuran ekonomi sebagai akibat dari
pembangunan ekonomi, hanyalah alat untuk meninggikan derajat
manusia Indonesia, agar cita-cita kemerdekaan tentang nilai
kemanusiaan dan keadilan sosial dapat ditegakkan. Untuk itulah,
kekuatan politik harus dikerahkan agar menciptakn sistem ekonomi
yang demokratis, yang akan menjamin terciptanya kelanggengan
nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Maka, jika kita ingin
mengambil saripati seluruh keprihatinan kenegarawanan dan
intelektual Bung Hatta, adalah persoalan peningkatan harkat rakyat
Indonesia secara keseluruhan.
Mungkin, dalam konteks inilah kita bisa memahami mengapa
Bung Hatta sangat menaruh perhatian besar terhadap dunia
koperasi di Indonesia. Karena sistem ekonomi koperasi merupakan
sistem yang cocok bagi pelaku-pelaku ekonomi masyarakat
Indonesia yang sebagian besar terdiri dari massa petani dengan
tradisi kerja yang bersifat kolektivisme.16 Tetapi di atas itu, karena
sistem koperasi memberikan jaminan bagi terciptanya sistem
ekonomi yang demokratis di mana aspirasi rakyat kecil bisa
tertampung.
Sikap ini telah menjadi keyakinan Bung Hatta, ketika ia
mengatakan: "I have most emphatically stressed that cooperation is
the only way for the poor and economically weak people to
improve their living conditions."17 Tentu saja, Bung Hatta sangat
menyadari bahwa proses pembentukan masyarakat kooperatif dan
sistem ekonomi koperasi bukan saja memerlukan jalan yang
panjang, tetapi juga terus menerus dihadapkan dengan kenyataankenyataan
yang tak menguntungkan. Namun keyakinan Bung Hatta
tetap teguh terhadap keampuhan sistem ini. Dan kita yang masih
hidup dewasa ini justru semakin melihat kebenaran keyakinan Bung
Hatta tersebut, terutama ketika kita menyadari implikasi sosial
politik dan ekonomi serta kemanusiaan yang ditimbulkan oleh
bekerjanya sistem kapitalis sebagai antitesa dari sistem kooperatif
dewasa ini.
Bagi Bung Hatta, sistem ekonomi koperasi bukanlah suatu
barang telah jadi yang secara ajaib segera menyembuhkan penyakit
16Mohammad Hatta, "The Place of Cooperative in Indonesia Society," dalam
bukunya The Cooperative Movement …., hal. 1-20
17Mohammad Hatta, "Co-operation. A bridge toward Economic Democracy," dalam
bukunya, Ibid., hal. 54
77
ekonomi. Melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan dengan
intervensi manusia yang bermoral kemanusiaan dan keadilan sosial.
Kita bersimpati ketika Bung Hatta bercerita tentang Spinoza seperti
dikutip Bernard Lavergne: "hasrat manusia tetaplah kekal abadi,
tetapi telah menjadi kodrat hukum-hukum dan lembaga-lembaga
yang benar, yang mampu mempertemukan antara keinginan
bersama dan hasrat buruk diri pribadi umat manusia."
Untunglah karekteristik khusus gagasan-gagasan koperasi
yang memberikan kunci pemecahan yang selama ini dicari oleh
manusia berhasil dihadirkan. Keberhasilan terbesar dari cita-cita
koperasi dalam mencandra kepentingan diri pribadi dan kepentingan
umum dapat dipertemukan."18 Koperasilah tempat rakyat dan
banyak orang berusaha menjadi manusia seutuhnya. Koperasilah
tempat pemberdayaan ekonomi rakyat yang sesungguhnya.
Memperkuat Ekonomi Rakyat Melalui Koperasi
Sebagaimana diketahui bahwa posisi dan peranan koperasi
dan pengusaha kecil sangat strategis dalam pemberdayaan ekonomi
rakyat. Oleh sebab itu pemberdayaan ekonomi rakyat oleh
pemerintah dilakukan melalui peningkatan posisi dan peranan
koperasi dan pengusaha kecil dalam perekonomian nasional.
sebagian besar rakyat yang masih tertinggal didorong untuk masuk
menjadi anggota koperasi atau menajadi pengusaha kecil untuk
mewujudkan partisipasinya dalam perkonomian kita.
Dalam rangka pembinaan koperasi dan pengusaha kecil,
peranan pemerintah tersebut di atas telah dituangkan secara jelas
baik dalam Undang-undang nomor 25 tahun 1992 tentang
Perkoperasian maupun Usaha Kecil. Dalam peningkatan mutu SDM
koperasi dan pengusaha kecil, pemerintah telah mencanangkan
Gerakan Kewirausahaan Nasional [GKN] yang tertuang dalam
Instruksi Presiden [Inpres] Nomor 4 tahun 1995.
Dalam rangka lebih memperluas peluang-peluang usaha dan
meningkatkan aksesibilitas koperasi dan pengusaha kecil, di samping
melalui program-programnya sendiri, maka pemerintah bersamasama
dengan dunia usaha telah mencanangkan Gerakan Kemitraan
Usaha Nasional [GKUN] pada tanggal 15 Mei 1996. Dengan kemitraan
tersebut diharapkan akan muncul suatu kerjasama usaha yang
integratif antara pengusaha kecil dan koperasi.
Menumbuhkan manusia-manusia wirausha jelas merupakan
unsur kunci dalam pemberdayaan koperasi dan pengusaha kecil.
Manusia wirausaha adalah manusia yang tidak berorientasi hanya
pada pekerjaan semata. Manusia wirausaha adalah manusia yang
berorientasi untuk mampu menciptakan lapangan kerja baik untuk
dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Mereka ini sangat
dibutuhkan terutama dalam menghadapi tuntutan diperluasnya
lapangan kerja akibat surplus tenaga kerja yang terus bertambah
setiap tahun disebabkan meningkatnya jumlah penduduk maupun
sebab-sebab lainnya.
18Hatta, Ibid., hal. 66-67
78
Oleh karenanya wajarlah jika kewirausahaan dijadikan titik
sentral dalam pembangunan sumberdaya manusia. Program
kewirausahaan perlu terus dikembangkan ke seluruh penjuru
nusantara untuk menghasilkan manusia Indonesia yang bermutu
yang pada gilirannya akan membangkitkan ekonomi rakyat serta
mampu menciptakan peluang-peluang yang lebih baik dalam proses
pembangunan ekonomi.
Di atas segalanya, langkah ke depan yang paling strategis
adalah mendayagunakan koperasi sebagai badan usaha sebagaimana
badan usaha lainnya agar maju dan lebih besar manfaatnya.
Koperasi Sebagai Badan Usaha
Dunia selalu berubah. Kecenderungan perubahan dunia
strategis telah berlangsung sejak awal 80-an. Hal ini ditandai
dengan resesi ekonomi dunia dan kemudian diikuti dengan krisis di
bidang moneter, perdagangan internasional serta fluktuasi harga
minyak bumi dan komoditi ekspor pertanian. Semua perubahan
tersebut menuntut peningkatan daya saing negara-negara
berkembang melalui efisiensi dan produktivitas.
Pemerintah merespon perubahan tersebut antara lain melalui
berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang
perdagangan, moneter, penanaman modal, perpajakan, kebijakan
perijinan untuk mendorong terwujudnya efisiensi peningkatan
produktivitas nasional.
Dengan demikian pengurus dapat melakukan konsentrasi
pada pembinaan anggota, sedangkan kegiatan usahanya
dipercayakan kepada pengelola yang ditunjuk.
Dalam hal ini pengurus telah menyerahkan sebagian tugas
dan kewenangannya kepada pengelola, maka fungsi pengawasan
dapat diambil alih oleh pengurus. Dengan demikian koperasi tidak
perlu membentuk lembaga pengawas secara permanen. Tugas
utama pengelola adalah menjalankan fungsi peningkatan
kesejahteraan anggotanya.
Sedangkan tugas pengurus dapat lebih dikonsentrasikan untuk
melakukan pembinaan angota agar memiliki kebersamaan yang
lebih kuat dalam memanfaatkan potensi sumber daya yang dimiliki
untuk mengembangkan kegiatan usaha koperasi. Di samping itu juga
penting untuk mendayagunakan anggota dalam melakukan fungsi
kontrol terhadap kwalitas pelayanan pengelolaan kepada anggota
dan pelanggan lainnya.
Untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal bagi
angotanya, maka pengelola harus mampu mengembangkan berbagai
jenis kreasi dan inovasi bisnis agar potensi sumber daya ekonomi
anggota dan masyarakat sekitarnya dapat dioptimalkan untuk
meningkatkan kesejahteraan bersama.
Kreatifitas dan inovasi tersebut terus dikembangkan untuk
meningkatkan kwalitas pelayanan dan memperkuat daya saing usaha
koperasi yang dikembangkan. Dengan sinergi kekuatan yang dimiliki
anggota baik sebagai pemilik maupun pengguna jasa koperasi,
seharusnya koperasi memiliki keunggulan daya saing dibanding
badan usaha lainnya.
Ke depan, hubungan kerja antara pengurus dengan pengelola
harus jelas batas-batas hak, kewajiban dan wewenangnya. Begitu
juga dengan sistem insentif dan disinsentif yang perlu dituangkan
dalam perikatan ataupun reward yang diperoleh sesuai dengan
produktivitas yang dihasilkan. Perikatan hubungan kerja tersebut
harus dibuat secara tertulis untuk memberikan kepastian dan
jaminan hukum bagi kedua belah pihak.
Setiap usaha yang dikembangkan harus layak secara ekonomis
dan jelas pembukuannya (auditable). Ukuran-ukuran keberhasilan
usaha seperti yang banyak diterapkan pada badan usaha lain seperti
profitabilitas, rentabilitas, earning power atau ukuran lainnya
secara proporsional juga dapat digunakan sebagai bagian dari
penilaian keberhasilan usaha koperasi.
Untuk mengembangkan unit usaha yang layak, koperasi dapat
mengembangkan modal penyertaan baik bagi anggotanya maupun
bagi non-anggota. Sistem pengelolaan modal penyertaan yang
dikembangkan tidak menyimpang dari nilai-nilai etis maupun
prinsip-prinsip koperasi. Untuk modal penyertaan ini koperasi dapat
menetapkan tingkat bunga atau dividen yang lebih tinggi dari pasar
ataupun disesuaikan dengan hasil usaha yang dikembangkan. Oleh
112
karena itu, maka setiap unit usaha dapat dikelola sebagai unit-unit
otonom, dan koperasinya menjadi semacam ”holding company.”
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
era persaingan global yang semakin tajam, koperasi justru
mempunyai kesempatan dan peluang yang lebih besar untuk dapat
terus tumbuh dan berkembang. Sifat ganda dan nilai-nilai etis yang
mendasari prinsip-prinsip koperasi sebagai ciri identitas koperasi
justru akan menjadikan koperasi sebagai alternatif lembaga
ekonomi masa depan yang diperlukan untuk mengatasi berbagai
masalah ekonomi yang secara nyata dihadapi bersama oleh sebagian
besar masyarakat dunia.
Tumbuhnya kesadaran kolektif terhadap masalah-masalah
pengangguran, kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan serta
kesehatan dan keamanan sosial akan menjadi lahan yang subur bagi
tumbuh dan berkembangnya koperasi. Baik sebagai badan usaha
maupun sebagai gerakan ekonomi rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar