(AFP/Andrew Yates)
"Tidakkah Anda berminat menjadi pelatih di klub terbaik Inggris?" tanya salah satu dari kedua petinggi Liverpool itu.
"Mengapa? Apakah Matt Busby mengundurkan diri?’" Shankly balas bertanya.
Kita tahu apa yang ada di benak Shankly, karena Matt Busby sedang berproses menjadi pelatih legendaris Manchester United dan klub itu sedang merajai dunia persepakbolaan Inggris. Sedangkan Liverpool saat itu sudah cukup bergembira duduk di papan tengah divisi dua versi lama Liga Inggris.
Ini sekadar ilustrasi bahwa sebenarnya persaingan paling sengit di antara kedua tim tersebut belumlah terlalu lama. Kalau dihitung sejak Shankly memegang Liverpool tahun 1959, maka persaingan sengit MU dan Liverpool baru berlangsung 50 tahun. Jauh lebih muda dari persaingan sengit antara Liverpool dan Everton yang sudah ada sejak 50 tahun sebelumnya, atau Manchester United dan Manchester City, atau Arsenal dan Tottenham sejak tahun 1930-an, serta Chelsea dan Fulham ataupun Burnley dan Blackburn.
Shankly mengagumi pemain-pemain MU maupun klub itu, tetapi pada saat bersamaan mempunyai tekad membara untuk menggoyang hirarki persepakbolaan Inggris. Membawa Liverpool kembali ke puncak persepakbolaan Inggris. Dialah yang sesungguhnya memantik persaingan sengit antara kedua klub raksasa Inggris ini.
Shankly yang prestasinya biasa-biasa saja sebelum memegang Liverpool, hanya dalam waktu lima tahun membawa Liverpool dari klub papan tengah divisi dua menjadi juara divisi satu menyingkirkan MU maupun -- yang lebih penting lagi sebenarnya -- musuh bebuyutan satu kota sekaligus juara bertahan, Everton. Dua tahun kemudian di tahun 1966 ia mengulangi prestasi itu. Tahun 1965 ia membawa Liverpool menjuarai Piala FA untuk pertama kalinya.
Shankly tidak lagi membawa Liverpool menjadi juara divisi satu hingga tahun 1973. Namun dalam proses kebangkitan Liverpool ia menanamkan rasa percaya diri yang luar biasa bahwa Liverpool tidak kalah besar dengan klub lain. Bahwa bermain untuk Liverpool adalah sebuah kehormatan. Dan andaipun Liverpool tidak menjadi juara, sangat penting untuk mengalahkan mereka yang dianggap terbesar dan tersukses, bagaimanapun caranya, bermain habis-habisan seolah mati hidup tergantung pada pertandingan itu.
Shankly dengan sengaja menjadikan MU sebagai sasaran. Apalagi ketika mereka di tahun 1968 menjadi klub Inggris pertama yang memenangi Piala Champions. Boleh saja MU waktu itu menganggap dirinya klub tersukses, tetapi bertemu Liverpool mereka tahu reputasi itu tak ada artinya. Pertandingan akan berlangsung seperti pertempuran habis-habisan.
Adalah "kehendak" sejarah bahwa di tahun 1970-an MU dan Liverpool bertukar posisi. Ketika revolusi yang diawali oleh Shankly diteruskan Bob Paisley dan kemudian Joe Fagan – dua asisten pelatih Shankly -- membuat Liverpool bukan saja raja Inggris tetapi juga Eropa, nasib MU terpuruk-puruk bahkan sempat terdegradasi ke divisi dua di tahun 1975. Namun perseteruan antara kedua klub sudah terlanjur mapan dan tidak mengendor untuk tidak dikatakan malah makin sengit. Liverpool ganti menjadi klub paling sukses di Inggris tetapi mereka tahu melawan MU adalah persoalan berbeda. MU akan menjadi “Setan Merah” yang sesungguhnya dan Liverpool harus bersiaga tanpa henti.
Sejak pertengahan tahun 60-an itulah pertarungan MU melawan Liverpool menjadi salah satu pertandingan paling sengit dan paling ditunggu publik Inggris, seolah lepas dari konteks keseluruhan kompetisi liga. Kedua klub seperti bertekad, kalaulah tidak menjadi juara maka yang lebih utama bagi MU adalah mengalahkan Liverpool, begitupun sebaliknya.
Kedua klub saling mengukur pencapaian prestasi mereka dari apa yang sudah diraih oleh keduanya. Ingatkah Anda ketika Alex Ferguson untuk pertama kalinya datang ke MU lebih 20 tahun silam? Ketika ditanya wartawan salah satu target utamanya menjadi pelatih di Old Trafford, Ferguson tanpa sungkan menjawab: "Menendang Liverpool dari puncak hirarki sepakbola Inggris."
Seperti Shankly di Liverpool, Ferguson melakukan revolusi di MU. Bedanya, Ferguson bukan sekadar memulai revolusi tetapi juga menjaga revolusi itu untuk tidak padam. Ia masih saja menjadi pelatih hingga kini. Ia memegang janjinya untuk menendang Liverpool dari puncak hirarki sepakbola Inggris. Entah untuk berapa lama lagi.
Kedua klub akan bertemu lagi akhir pekan ini. Kedua pendukung klub akan membawa panji-panji prestasi mereka masing-masing: kami lebih banyak memenangkan Piala Eropa dari kalian, Piala FA kami lebih banyak, prestasi kami lebih bergengsi dan lain sebagainya. Tetapi di hati kecil mereka semuanya tahu, catatan prestasi itu tak lebih dekorasi semata. Yang lebih penting adalah apa yang terjadi selama 90 menit di lapangan.
Pertemuan antara kedua kesebelasan ini ,apapun nama kompetisinya, hanya mempunyai satu konteks: selama 90 menit mana yang lebih hebat, klubmu atau klubku. Peduli amat dengan kompetisi liga, Piala FA, Piala Liga, ataupun Liga Champions. Atau ... ya kami peduli, tapi itu urusan nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar