Selasa, 17 November 2009

Rupiah dan Resesi Ekonomi Dunia

Pertanyaan yang sering ditanyakan publik pada saat ini adalah kapan resesi ekonomi dunia ini berakhir. Tapi sebenarnya pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana cara kita sebagai sebuah bangsa bertahan menghadapi badai krisis ekonomi dunia ini.

Strategi mengatasi dampak resesi ekonomi masih terus menjadi topik kebijakan pemerintah di berbagai belahan dunia. Contohnya, Amerika Serikat akan mengucurkan paket stimulus fiskal 787 miliar dollar AS pada sektor riil.

Jumlah ini setara dengan 5,6 persen produk domestik bruto (PDB) Amerika. Tetapi, injeksi ke sektor riil tanpa memperbaiki sektor keuangan tidak akan berhasil memulihkan ekonomi.

Maka dari itu, setelah tahun lalu Pemerintah AS mengucurkan paket penyelamatan sektor keuangan 700 miliar dollar AS, sekarang diusahakan paket kedua sebesar 750 miliar dollar AS. Program penyelamatan ekonomi AS ini akan menambah utang Pemerintah AS sebesar 2 triliun dollar AS dan menggelembungkan defisit anggaran Pemerintah AS secara signifikan menjadi 12 persen PDB.

Walaupun suku bunga bank sentral global terus diturunkan, bahkan sudah mendekati 0 persen di Jepang, Amerika, dan Inggris, tidak berarti bahwa pemberian kredit tersedia berlimpah.

Pada masa krisis saat ini, perbankan AS dan Eropa sebagai mesin kredit dunia sedang rugi besar. Mereka dihadapkan pada problem kredit bermasalah yang sampai sekarang sudah mencapai 1 triliun dollar AS. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), kemungkinan besar kredit bermasalah tersebut masih akan naik sampai 2,2 triliun dollar AS.

Proses rekapitalisasi perbankan global masih jauh dari selesai. Akibatnya, perbankan global harus menghemat modalnya dan meminta pelunasan kredit. Inilah yang menyebabkan perbankan global menghindari pengucuran kredit, apalagi kredit kepada negara berkembang.

Sisa portofolio aset di negara berkembang harus dijual walaupun merugi. Proses penarikan pulang kredit dan penjualan aset inilah yang disebut sebagai proses de-leveraging.

Oleh karena itu, adalah keputusan yang tepat bagi Pemerintah Indonesia dua minggu lalu mengambil kredit dari pasar surat utang global sebesar 3 miliar dollar AS walaupun dengan suku bunga yang lebih tinggi daripada pada masa normal.

Imbal hasil yang ditawarkan surat utang pemerintah adalah 10,5 persen untuk jangka waktu 5 tahun dan 11,75 persen untuk jangka waktu 10 tahun. Jika tidak diambil sekarang, dikhawatirkan jumlah tersebut tidak lagi tersedia enam bulan ke depan.

Proses de-leveraging ini telah membuat mata uang banyak negara melemah terhadap dollar AS. Rupiah melemah 9 persen dibandingkan dengan awal tahun ke Rp 11.990. Tetapi, rupiah tidak melemah sendirian. Bahkan, mata uang negara maju juga melemah.

Mata uang euro melemah 10 persen, mata uang yen melemah 7 persen, dan mata uang dollar Australia melemah 11 persen. Di antara negara berkembang, pelemahan mata uang cukup besar terjadi di Rusia dan Korea Selatan yang melemah 17 persen, di Polandia dan Hongaria melemah 20 persen, di Turki melemah 14 persen, serta di Meksiko dan Afrika Selatan melemah 11 persen.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini oleh Bank Indonesia diperkirakan turun dari 6,1 persen ke 4 persen. Tentu saja dibandingkan dengan Amerika, Eropa, Jepang, Hongkong, dan Singapura yang mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, ekonomi kita yang tumbuh positif dianggap masih bisa bertahan menghadapi resesi ekonomi dunia.

Tetapi, kita tidak boleh berlega hati. Pelemahan rupiah walaupun terjadi seiring dengan mata uang lain, harus kita cegah agar tidak semakin terpuruk. Kita harus ingat bahwa jatuhnya suatu negara pada masa damai bukanlah karena perang senjata, tetapi karena perang ekonomi.

Ketahanan suatu negara terhadap pelemahan mata uang bergantung dari seberapa besar permintaan dan supply valuta asing. Kita harus memiliki supply valas yang lebih besar daripada permintaan terhadap valas. Langkah maju Bank Indonesia membatasi pembelian dollar tanpa underlying transaction sebesar 100.000 dollar AS per bulan adalah kebijakan bagus.

Permintaan terhadap valas bergantung pada seberapa besar impor dan utang valas. Semakin kecil ketergantungan terhadap impor akan semakin baik karena permintaan terhadap valas akan menurun. Surplus neraca perdagangan harus dipertahankan.

Jangan sampai kita mempunyai ketergantungan terhadap impor energi dan bahan pangan karena Indonesia adalah negara dengan cadangan energi yang besar dan memiliki tanah pertanian yang luas.

Tantangannya adalah bagaimana kita mengembangkan sektor dalam negeri yang kompetitif sehingga Indonesia bisa mengurangi ketergantungan terhadap barang impor, tetapi juga tidak merugikan konsumen.

Di sinilah seninya, yaitu ada keberpihakan terhadap industri dalam negeri, tetapi juga tetap memacu kompetisi dan efisiensi industri dalam negeri. Neraca perdagangan diperkirakan tetap surplus tahun ini.

Walaupun ekspor turun drastis dari 12,5 miliar dollar AS (Juli 2008) ke 7,1 miliar dollar AS (Januari 2009), impor juga turun signifikan dari 10,7 miliar dollar AS ke 5 miliar dollar AS pada periode yang sama. Akan tetapi, ketergantungan kita yang besar terhadap impor jasa, seperti jasa perkapalan, asuransi, dan pembayaran bunga utang luar negeri, diperkirakan membuat defisit transaksi berjalan sekitar 2,5 miliar dollar AS pada tahun 2009. Oleh karena itu, kredit valas di perbankan domestik dan utang luar negeri sektor swasta harus dikontrol.

Utang luar negeri swasta yang jatuh tempo tahun ini, menurut BI, adalah 17,4 miliar dollar AS. Di tengah ketatnya pasar kredit, semoga utang sektor swasta ini bisa diperpanjang.

Faktanya negara kita sangat membutuhkan kredit dari luar negeri karena modal dalam negeri tidak cukup membiayai pembangunan. Untuk itu kontrol terhadap utang luar negeri swasta adalah cara kita supaya tetap memperoleh kredit dari luar negeri, tetapi tanpa membahayakan stabilitas ekonomi makro. Bahkan, Amerika pun, sebagai pembela pasar bebas, sekarang percaya bahwa pasar keuangan harus diatur.

Mengapa mata uang Thailand dan Malaysia hanya melemah 4 persen dan 6 persen dan mereka memiliki cadangan devisa hampir dua kali lipat dari Indonesia? Apakah karena kedua negara itu memiliki penanaman modal asing (PMA) dan industri pariwisata yang besar atau karena mereka memiliki sistem devisa yang lebih terkontrol daripada Indonesia?

Kita perlu mempelajari bagaimana cara Thailand dan Malaysia menambah supply dollar di pasar. Pertanyaan selanjutnya, apakah devisa hasil ekspor Indonesia semuanya sudah masuk ke sistem perbankan domestik? Apakah sudah sama pencatatan nilai pengapalan barang ekspor di pelabuhan Indonesia dengan devisa ekspor yang kita terima di sistem perbankan domestik? Inilah pekerjaan rumah yang harus dikerjakan serius oleh bangsa ini.

Aturan pemerintah mewajibkan eksportir komoditas primer memasukkan devisa hasil ekspor ke sistem perbankan domestik melalui pengaturan ekspor dengan letter of credit atau sejenisnya, itu sudah tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar